PERSEPSI WARNA BATU PERMATA
Secara ilmiah, warna adalah spektrum cahaya yang dihasilkan dari distribusi intensitas cahaya dan panjang gelombang, yang kemudian ditangkap oleh sensor penangkap cahaya retina mata kita. Selanjutnya, otak menginterpretasikan warna tersebut berdasarkan referensi nama warna yang kita kenal. Kemampuan manusia dalam melihat warna sangat tergantung sensivitas retina dan referensi warna dalam otak. Sebagian orang tidak sempurna dalam mencerna warna. Keterbatasan dalam membedakan warna dikenal dengan color deficiency syndrome atau yang lebih parah lagi adalah color blind (buta warna). Mengingat komunitas kita bukan kumpulan para dokter, maka kita akan mengaitkan pembahasan warna dengan dunia kita, khususnya dunia perbatuan tentang persepsi warna batu permata.
Tidak seperti berlian, yang nilainya semakin tinggi ketika warnanya tidak ada yang mempengaruhinya (collorless), warna pada batu mulia (colored stones) seperti Sapphir, Ruby, Emerald dan seterusnya, menjadi unsur yang terpenting. Semakin intens warna pada batu tersebut, maka nilai batu akan semakin tinggi. Warna-warna primer seperti merah, biru, kuning dan campuran warna primer seperti warna primer hijau, orange, dan ungu menjadi prioritas utama orang dalam berburu batu mulia. Disisi lain, ketersediaan batuan dengan intensitas warna yang demikian tidak cukup untuk memenuhi permintaan pasar, sehingga sebagian orang beralih ke batuan dengan warna yang lebih rendah-dari segi ketajaman dan saturasinya, atau melalui batu yang sudah melalui rekayasa warna.
Tidak seperti berlian, yang nilainya semakin tinggi ketika warnanya tidak ada yang mempengaruhinya (collorless), warna pada batu mulia (colored stones) seperti Sapphir, Ruby, Emerald dan seterusnya, menjadi unsur yang terpenting. Semakin intens warna pada batu tersebut, maka nilai batu akan semakin tinggi. Warna-warna primer seperti merah, biru, kuning dan campuran warna primer seperti warna primer hijau, orange, dan ungu menjadi prioritas utama orang dalam berburu batu mulia. Disisi lain, ketersediaan batuan dengan intensitas warna yang demikian tidak cukup untuk memenuhi permintaan pasar, sehingga sebagian orang beralih ke batuan dengan warna yang lebih rendah-dari segi ketajaman dan saturasinya, atau melalui batu yang sudah melalui rekayasa warna.
Antusiasme pasar dalam berburu batu permata dengan warna terbaik memicu munculnya istilah-istilah seperti Royal Blue, Cornflower Blue, Pigeon's Blood Red, Noble Red, London Blue, Canary Yellow, Emerald Green dan masih banyak lagi yang bisa mereferensi kita tentang kategori warna batu mulia, meskipun warna-warna tersebut masih terkesan inkonsisten dan range range warnanya cukup lebar. Penentuan warna sejatinya merupakan ranah gemstone grading (penentuan kualitas batuan), berasama-sama dengan kualifikasi clarity (kejernihan) dan cut (kualitas gosokan). Konsisten warna bisa didapat dengan pengukuran kuantitatif menggunakan coolor grading master dan colorimeter. Apabila mengandalkan mata dan memori, kita hampir tidak bisa mengidentifikasi warna dengan tepat. Hampir sama tidak munkinya kita menggambar lingkaran sempurna tanpa jangka di papan tulis.
Mengenai persepsi warna batu permata sepertinya menjadi bahasan yang tak kunjung berakhi. Perdebatan tentang warna (yang tidak terukur) juga terjadi di dunia internasional, seperti misalnya sampai dimana batasan warna antara Pink Sapphir dan Ruby, Green Beryl dan Emerald, atau Aquamarine dan Maxixe Beryl. Meskipun secara tegas definisinya ditentukan, namun batasan tersebut banya ditentukan oleh batasan tone, seperti very light, medium light dan medium saja, tanpa menyebutkan ordinat warna yang lebih strict. Belum lagi masalah fenomena color shift dan color change yang meskipun telah dipelajari dalam geomolog, namun pada kenyataanya tidak terstandar. Zircon misalnya, sebagian geomologist menganggap bahwa perubahan pada Zircon tidak bisa dikategorikan sebagai fenomena color change karena serapan spektrum Zircon di polarisasikan ke hampir seluruh area spektrum visibel (400-700 nanometer) sehingga garis-garis spektrumnya terlihat seperti jeruji penjara.
Fenomena pada perubahan warna batu mulia bisa terajadi karena dilihat dari sudut pandang yang berbeda (pleochroism) seperti pada Chrysoberyl, Andalusite, Tourmaline, Diaspore, Tanzanite, Iolite, dan sebagainya. Perubahan warna juga bisa terjadi karena sumber cahaya yang berubah, yaitu dari lampu warna putih (6000-6500k) dan lampu pijar (2800-3200k), yang bisa dikategorikan sebagai fenomena color change atau Alexandrite pada spesies Chrusoberyl. Keunikan lain tentang warna juga terjadi pada benerapa batuan seperti Tourmaline dari Umba Vallery Tanzania yang berubah warna pada ketebalan materi kristal yang berbeda. Efek ini dikenal dengan Usarambara Effect. Demikian pula dengan spesies Hackmanite dan Tugtupite yang berubah warna setelah diekspos di bawah sinar ultraviolet.
Geomological Insitut of America (GIA) Laboratory adalah salah satu dari laboratorium di dunia yang menetapkan standar untuk penilaian kualitas warna pada batu mulia. GIA membagi warna pada hue (warna pokok) menjadi 31 warna, enam tingkatan saturasi dari greyish/brownish hingga vivid, dan tingkatan sepuluh tone atau tingkat gelap terang warnanya. Dengan penentuan yang sistematik dan color grading master sebagai referensi, maka konsistensi penentuan warna lebih bisa dipercaya. Saat ini juga sudah trsedia piranti lunak untuk menentukan warna batu permata, namun masih banyak orang yang ragu warna-warna di layar komputer akan bisa identik dengan warna batuan yang di observasi.
Kepekaan terhadap warna batuan akan membuat kita mampu membedakan kualitas batu secara cermat. Ini bisa dilatih dengan melihat sebanyak-banyaknya warna-warna batuan sesuai dengan kategorinya. Tidak harus dengan cara membeli, bisa dengan sesering munkin mengunjungi pameran batu untuk melihat-lihat koleksi teman-teman. Untuk memperoleh master warna, anda bisa membeli batu-batu sintetik, karena biasanya batu-batu tersebut dibuat berdasarkan warna terbaik dari varietas yang ditirunya.
0 komentar:
Post a Comment